"Ke depan, sistem dan teknologi budi daya rajungan ini bisa dikembangkan pada tambak-tambak masyarakat, sehingga benih rajungan tidak lagi hanya mengandalkan alam," kata Kepala BBPBAP Jepara Sugeng Raharjo di Jepara, Jawa Tengah, Minggu.
BBPBAP adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Pada diskusi dengan Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) yang dipandu pakar kelautan dan perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Hawis Madduppa, kemarin, Sugeng mengemukakan teknologi budi daya rajungan itu tidak lahir dalam waktu singkat, namun melalui proses yang panjang. Pihaknya kerja sama dengan APRI sejak 2011 dengan melepasliarkan benih (restocking) BBPBAP Jepara hingga kini.
Ia mengatakan sebuah penelitian yang mampu melahirkan teknologi budi daya rajungan, membutuhkan pemikiran dan juga biaya yang tidak sedikit.
"Riset dan teknologi yang bagus pun tidak akan banyak gunanya kalau tidak dilanjutkan untuk pengembangannya," katanya pada rangkaian kegiatan yang juga dihadiri Ketua APRI Kuncoro Catur Nugroho.
Ia menyebut kerja sama antara balai dan asosiasi itu merupakan wujud sinergi yang positif antara lembaga penelitian dengan dunia industri, sehingga berhasil ditemukan teknologi budi daya rajungan yang selama ini masih sulit dilakukan.
Salah satu kesulitan budi daya, kata dia, adalah kanibalisme pada rajungan sehingga mengutamakan penangkapan dan pengambilan dari alam.
Ia mengakui penelitian budi daya rajungan belum sepenuhnya sempurna. Oleh karena itu, kata dia, hal itu menjadi tantangan untuk terus memperbaiki dan mengembangkannya ke depan.
"Harapan kami, teknologi budi daya rajungan ini kemudian bisa menyebar di Jawa, Sulawesi, hingga seluruh Indonesia, dan dikembangkan di tambak-tambak rakyat," ujar Sugeng.
Baca juga: Rajungan terbaik di Indonesia di Selat Tiworo dikelola secara lestari
Sementara itu Ketua APRI Kuncoro Catur Nugroho menilai budidaya rajungan ini menjadi solusi jangka panjang bagi nelayan dan pelaku usaha yang selama ini mengandalkan pengambilan rajungan dari lautan.
Ia mengakui bahwa upaya-upaya penelitian untuk menemukan teknologi budi daya secara sporadis sudah pernah dilakukan. "Yang ingin kita tuju adalah bagaimana akhirnya upaya itu nyambung dengan bisnis, yang sifatnya harus profit," katanya.
Kuncoro mengatakan banyak riset di Asia sampai Arab Saudi, namun topik-topik yang diteliti masih jauh dari misi dunia bisnis. "Kalau kami kalkulasi jumlah penelitian dengan biaya sampai ratusan miliar itu belum sesuai dengan misi bisnis, sehingga hasil penelitian masih menumpuk sebagai hasil riset," katanya.
Baca juga: Wapres lepas rajungan di Pantai Boddia
Baca juga: Ekspor rajungan Indonesia tembus Rp5 triliun
Sementara itu, pakar kelautan dan perikanan IPB Hawis Madduppa kepada Antara menyatakan bahwa pengembangan rajungan di tambak diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap lingkungan dan penangkapan alami.
"Serta dapat membantu memenuhi kebutuhan bahan baku di masa yang akan datang," kata doktor bidang "Biotechnology and Molecular Genetics" dari Universitas Bremen, Jerman itu.
Kegiatan penelitian budi daya tambak rajungan itu dimulai pada 4 Juni 2018 dengan penebaran benih rajungan yang berjumlah 33.800 ekor di tambak riset rajungan yang berlokasi di Jepara hingga dilakukan panen pada Sabtu (11/8). Dalam waktu sekitar dua bulan rajungan yang ditebar, beratnya antara 80-100 gram per ekor ketika dipanen.
Baca juga: KKP berhasil benihkan komoditas rajungan secara massal
Baca juga: Indonesia usung ketelusuran produk perikanan di Amerika Serikat
Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tak lagi andalkan alam, kini rajungan bisa dibudidaya di tambak"
Post a Comment