Hal itu dikatakan anggota Dewan Pembina Gapki Achmad Mangga Barani di Jakarta, Sabtu terkait kewajiban bagi PBS dan Perkebunan Besar Negara (PBN) untuk membangun kebun plasma sekitar 20 persen dari total konsesi yang dimilikinya sebagaimana tertuang dalam Permentan No.26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Mangga Barani menegaskan kewajiban PBS dan PBN membangun kebun plasma seluas 20 persen dari total konsesi itu ada sejak terbitnya permentan tersebut, yakni pada tahun 2007.
"Sedangkan sebelum 2007 tidak ada kewajiban bagi PBS maupun PBN membangun atau bermitra dengan petani plasma. Jadi salah besar jika dikatakan perusahaan sawit dan PTPN tidak berpihak ke petani kecil," ujar mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian itu.
Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan menyebutkan, hingga akhir 2018 total kebun sawit di Indonesia mencapai 14.309.256 hektare (ha). Kepemilikan kebun sawit tersebut terdiri atas perkebunan rakyat seluas 5.807.514 ha, PBN seluas 713.121 ha, dan PBS seluas 7.788.621 ha.
Perkebunan rakyat terbagi menjadi dua, yakni kebun milik petani mandiri dan petani plasma yang luasnya sekitar 617.000 ha.
Baca juga: Dukungan Pemda dinilai penting bagi industri sawit
Sepintas, kata Mangga Barani, perkebunan swasta tidak taat aturan karena kebun plasma hanya 8 persen dari total kebun swasta.
Namun, tambahnya, budidaya perkebunan kelapa sawit itu ada sejak penjajahan Belanda, sementara itu, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma baru diatur 2007 melalui Permentan No 26/2007.
Sementara itu UU No 39 tentang Perkebunan yang juga mengamanatkan PBS maupun PBN membangun plasma sebesar 20 persen dari luas konsesi baru terbit tahun 2014.
"Jadi swasta yang membangun kebun sebelum tahun 2007 itu tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan No 26/2007 tersebut tidak berlaku surut," katanya.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan bahwa perusahaan kelapa sawit selalu patuh dengan regulasi yang diterapkan pemerintah Indonesia.
Menurutnya, pembangunan kebun plasma itu membutuhkan lahan, sementara sejak 20 Mei 2011 pemerintah melakukan moratorium pemberian izin baru untuk pembukaan lahan, yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 10/2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.
Jadi, tambahnya sejak 20 Mei 2011 tidak ada izin baru yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan swasta, sehingga bisa dipastikan tidak ada pembangunan kebun plasma baru.
"Pembangunan kebun plasma baru itu bisa dilakukan jika ada izin baru. Jadi di sini pemerintah perlu menyediakan lahan untuk pembangunan kebun plasma baru," kata Joko Supriyono.
Baca juga: Perbaiki tata kelola sawit, pemerintah kembangkan aplikasi perizinan perkebunan
Baca juga: Gapki: tuduhan negatif pada industri sawit tak benar
Pewarta: Subagyo
Editor: M Razi Rahman
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Gapki: perkebunan swasta taat aturan bangun plasma"
Post a Comment