loading...
Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko mengatakan telah melakukan penelitian dampak positif layanan Laku Pandai oleh perbankan. Menurutnya, dari kawasan pinggiran di empat kota besar tercatat hanya kurang dari 30% tidak memiliki akses ke perbankan dengan berbagai alasan. Salah satunya masyarakat pinggiran kota menganggap pergi ke bank itu sangat merepotkan terlebih hanya sekadar bayar tagihan listrik atau PDAM. Pergi ke bank diibaratkan menghadiri perkawinan karena harus rapi dan sebagainya. Pokoknya rumit. Alasan lain juga seperti uang yang dirasa terlalu sedikit hanya untuk ditabung di bank.
"Mereka berat menabung Rp100 ribu tiap bulan namun mampu sisihkan Rp10.000 setiap hari. Bank konvensional tidak mampu melayani segmen unbankable itu, bahkan untuk di pinggiran kota besar. Harus ada model bisnis baru bagi yang menabung hanya Rp5.000 setiap hari," ujar Prasetyantoko dalam diskusi bersama Koran SINDO di Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Dia menjelaskan kondisi ekonomi saat ini menghadapi tren likuiditas ketat yang membuat perbankan harus optimalkan dana dari dalam negeri. Saat ini, dana itu ada di masyarakat dan sebenarnya hanya butuh akses untuk masuk ke sistem ekonomi nasional atau terakumulasi ke perbankan.
Meskipun secara likuiditas ketat tapi juga semakin banyak teknologi baru yang masuk untuk mendorong praktik bisnis seperti BRILink. Hasilnya adalah akumulasi dana yang tersembunyi selama ini di bawah bantal atau lemari baju masyarakat dapat ditarik ke sistem ekonomi kita. "BRILink mendorong partisipasi uang masyarakat dalam bentuk tabungan di bank. Apabila layanan ini terus meningkat tentu bisa jadi sentimen positif buat perekonomian nasional," ujarnya.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk mencatat volume transaksi agen Laku Pandai atau BRILink mencapai Rp250 triliun sejak awal 2018 hingga sekarang (year to date/YTD). Layanan BRILink sangat dibutuhkan saat ini untuk menggenjot dana yang belum masuk sistem keuangan di tengah era likuiditas kian ketat.
Kabag Desk Jaringan BRILink BRI, Ahmad Furkon mengatakan pihaknya terus mendorong peran agen BRILink dengan sosialisasi dan edukasi mengenai usaha-usaha mikro yang dibina oleh BRI di berbagai daerah, terutama daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Dampak yang dihasilkan terutama untuk mendukung likuiditas perseroan dengan dana simpanan masyarakat. Bahkan tercatat saldo rata-rata secara nasional para agen BRILink berada di kisaran Rp13 juta-Rp20 juta. "Jadi pendekatan dana simpanan (DPK) kami berbasis transaksi. Itu sangat efektif. Para agen harus terus menambah saldonya di BRI untuk dapat melayani transaksi nasabahnya," ujar Furkon.
Dia menjelaskan BRILink merupakan perluasan layanan BRI, dengan menjalin kerja sama dengan nasabah sebagai agen. Hasilnya BRI dapat melayani kebutuhan keuangan bagi masyarakat secara real time dan online. Selain itu peran penting para agen BRILink ialah untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat yang tidak terjangkau perbankan selama ini.
"Kami punya banyak success story para agen di Atambua yang melayani lintas batas negara. Lalu juga ada yang di tengah kebun sawit daerah Sumatra Utara. Juga di Makassar hingga Sorong. Mereka sangat inspiratif," ujarnya.
Dia juga bercerita tantangan yang harus dihadapi untuk pengembangan agen BRILink tidak sedikit. Bahkan cita cita mewujudkan satu desa satu agen masih belum kesampaian. Hal ini karena kendala infrastruktur khususnya listrik dan jaringan internet.
Misalnya seperti di Papua terdapat 7.500 desa dan kelurahan namun hanya kurang dari 500 titik yang memiliki jaringan komunikasi. Bahkan sisanya belum tersentuh jaringan internet. Lebih parahnya lagi akses listrik yang juga belum ada.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Agen BRILink Jadi Solusi saat Likuiditas Ketat"
Post a Comment