
loading...
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun ikut melemah -1,66% (YTD per 16 April 2018). Volatilitas ini diperkirakan masih akan berlanjut karena kenaikan suku bunga acuan The Fed, kebijakan proteksionisme Amerika Serikat, dan kondisi geopolitik di Suriah.
"Namun, kinerja pasar finansial Indonesia diperkirakan masih akan positif hingga akhir tahun 2018," ujar Chief Economist & Investment Strategist MAMI Katarina Setiawan di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Investor berpeluang mendapatkan potensi imbal hasil yang menarik dari volatilitas yang terjadi saat ini. Beragam faktor dari dalam negeri turut mendukung pemulihan ekonomi Indonesia, seperti peningkatan belanja pemerintah dan ekspansi subsidi yang menopang daya beli, serta pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Dia mengatakan, masyarakat investor tidak perlu panik dengan apa yang terjadi di pasar. Kenaikan suku bunga Amerika Serikat telah diantisipasi oleh pasar. Lebih lanjut Katarina menjelaskan bahwa ada beberapa faktor pendukung pasar finansial Indonesia. Pertama, bank sentral di kawasan Asia secara umum tetap akan menjaga suku bunga rendah di tengah kenaikan Fed Rate.
Kebijakan suku bunga rendah tetap bisa dilakukan karena adanya stabilitas inflasi, sinkronisasi pertumbuhan global, dan prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, belajar dari pengalaman masa lalu, ketegangan dagang Amerika Serikat dan China kemungkinan besar tidak akan berkembang menjadi perang dagang. "Lagipula secara keseluruhan, eksposur perdagangan kawasan Asia ke Amerika Serikat masih cukup terkendali," paparnya.
Menurut dia, jika ketegangan meningkat, terdapat potensi bahwa daya saing produk Indonesia akan meningkat dan memberikan keuntungan bagi Indonesia. Ketiga, ketegangan geopolitik di Suriah yang kemungkinan meningkatkan kenaikan harga minyak, sebetulnya berpotensi meningkatkan PDB Indonesia. Keempat, Bank Indonesia tetap berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sebagai kunci dalam meredam volatilitas pasar finansial.
Katarina mengatakan, bahwa pemulihan ekonomi masih akan terus berlanjut. Belanja negara pada dua bulan pertama tahun 2018 mencapai 11,2% dari target. Sementara belanja sosial, yang menjadi kunci penting untuk menopang daya beli masyarakat, naik tajam.
Pemerintah juga fokus menjaga daya beli masyarakat. Sejumlah inisiatif diluncurkan pemerintah untuk mendukung daya beli, seperti pemberian THR untuk PNS dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sebelumnya, penurunan tarif tol, peningkatan penyerapan dana desa, dan ketersediaan BBM subsidi yang lebih luas. “Untuk mendukung pertumbuhan manufaktur, pemberian insentif pajak korporasi diberikan untuk investasi baru dan bagi korporasi yang melakukan ekspansi,” ujar dia.
Di sisi lain, beragam kabar positif mewarnai pasar obligasi Indonesia. Director & Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI Ezra Nazula menambahkan, keputusan Moody’s menaikkan sovereign rating Indonesia dari Baa3 menjadi Baa2, dari outlookpositive menjadi stable tentunya memicu sentimen positif bagi pasar. "Baru kali ini Indonesia mendapatkan rating Baa2 dengan outlook stable dari Moody’s," katanya.
Kenaikan ini menyusul Fitch yang telah menaikkan rating Indonesia di Desember 2017. Akan tetapi efek dari peningkatan rating ini tidak akan sebesar yang terjadi di tahun 2011. Karena kenaikan kali ini masih sama-sama terjadi dalam kategori investment grade. Selain itu, obligasi Indonesia akan segera masuk dalam Indeks Bloomberg-Barclays Global Aggregate pada bulan Juni 2018.
Ezra mengatakan, kombinasi dari masuknya obligasi Indonesia ke dalam indeks Bloomberg-Barclays Global Aggregate dan kenaikan rating Fitch dan Moody’s berpotensi menarik aliran dana asing ke pasar obligasi Indonesia. "Harapannya, aliran dana asing dapat membantu membiayai melebarnya defisit transaksi berjalan tahun ini, dan mendukung stabilitas nilai tukar," ungkap dia.
(akr)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Volatilitas Rupiah Diperkirakan Berlanjut, Investor Tak Perlu Panik"
Post a Comment