Jakarta (ANTARA News) - Geliat ekonomi nasional pada 2018 ini cenderung dipengaruhi sentimen yang muncul dari global terutama dari Amerika Serikat karena kebijakan stimulus fiskal pemerintahannya.
Adanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya, terutama China menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi laju perekonomian nasional.
Sejauh ini, perang dagang belum menunjukkan adanya perubahan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan di ekonomi global. Dampaknya, cukup terasa pada industri keuangan di dalam negeri seperti pasar modal.
Hal itu terlihat dari volatilitas aliran dana modal asing di pasar saham. Berdasarkan data BEI, dana asing di pasar saham di sepanjang tahun ini mencatatkan jual bersih atau "foreign net sell" sebesar Rp48,656 triliun per 14 desember 2018.
Kondisi itu, turut mempengaruhi kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2018 ini. Secara persentase, IHSG turun 2,92 persen dibandingkan akhir 2017 lalu yang berada pada level 6.355,65.
"Tahun ini cukup banyak dampak sentimen eksternal yang dirasakan, terutama imbas dari kebijakan normalisasi suku bunga The Fed. Pengaruhnya bukan hanya pada bursa domestik, namun juga pada bursa regional," ujar Deputi Pengawas Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fakhri Hilmi.
Sebenarnya, menurut dia, ekonomi Indonesia secara umum cukup resilien dalam menghadapi dinamika global itu. Namun, kondisi eksternal itu membatasi sentimen positif dari ekonomi dalam negeri. "Pertumbuhan ekonomi berlanjut dan stabilitas keuangan juga cukup terjaga," katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang tiga kuartal tahun ini sebesar 5,17 persen.
Direktur Utama Indo Premier Investment Management, Diah Sofiyanti mengatakan, secara umum fluktuasi harga saham dipicu oleh tiga faktor, yakni fundamental ekonomi, teknikal, dan sentimen.
"Meski fundamental ekonomi kita bagus, namun sentimennya negatif terutama dari eksternal maka fluktuasi saham akan mudah berubah seperti pada tahun ini," ujarnya.
Namun demikian, ia menyampaikan, meskipun indeks saham mengalami penurunan, kinerja intrumen investasi di pasar modal seperti reksa dana mengalami pertumbuhan yang menggembirakan.
Berdasarkan data OJK, pada pekan pertama Desember nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana sebesar Rp503,029 triliun, mengalami pertumbuhan 9,95 persen dibandingkan 2017 lalu senilai Ro457,506 triliun.
Hal positif lainnya di industri pasar modal ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sepanjang tahun ini, terdapat perusahaan baru yang sahamnya tercatat di BEI, yakni sebanyak 56 emiten.
Diah Sofiyanti optimistis kinerja industri pasar modal, yang tercermin dalam IHSG akan membukukan hasil positif pada tahun ini, karena pasar sudah memperhitungkan dampak perang dagang dan kebijakan suku bunga negara maju. "Menjelang akhir tahun, lazimnya pasar saham memang dipenuhi optimisme," katanya.
Rekor IPO
Meski dibayangi fluktuasi global, Bursa Efek Indonesia mencatat, sebanyak 56 perusahaan resmi mencatatkan sahamnya melalui mekanisme penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) hingga Desember 2018 ini.
Pencatatan 56 perusahaan itu menandai sejarah baru bagi BEI yang telah mencapai pencatatan saham terbanyak selama setahun, sejak privatisasi Bursa pada tahun 1992.
"Tahun ini merupakan momen dimana perusahaan skala kecil dan menengah mendapatkan tempat di pasar modal. Tahun ini merupakan pencapaian IPO tertinggi sejak 1992, paling tinggi sebanyak 44 perusahaan," ujar Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna.
Menurut dia, bertambahnya jumlah emiten di BEI itu menunjukan literasi keuangan di Indonesia meningkat. Sejumlah perusahaan mulai melirik pasar modal sebagai tempat untuk meraih modal selain perbankan.
"Sudah ada 'shifting' dalam meraih pendanaan bagi perusahaan. Namun, dalam hal ini kita tidak berkompetisi dengan perbankan.
Pemahamannya adalah, pendanaan dari perbankan untuk jangka pendek, dan pasar modal untuk jangka panjang," paparnya.
Pendanaan pasar modal, menurut dia, menjadi tidak terbatas bagi perusahaan tercatat di BEI selama mendapat kepercayaan dari investor.
Dalam melaksanakan IPO, ia menyampaikan, pihak otoritas pasar modal telah menyederhanakan peraturan dan prosesnya. Dengan begitu, ekspansi perusahaan dapat bisa lebih cepat.
"Pasar modal jadi rumah bagi semua kalangan. Kita berikan 'listing services', perusahaan akan menjadi besar di pasar modal," ucapnya.
BEI berharap akan semakin banyak perusahaan yang menjadi bagian dari pasar modal dengan melakukan pencatatan sahamnya di BEI.
Dengan begitu diharapkan selera investasi masyarakat di pasar modal terus meningkat yang akhirnya turut menjaga stabilitas industri menjelang tahun politik 2019.
Tahun Politik
Otoritas Jasa Keuangan berharap isu ekonomi dan politik jangan dibenturkan agar tidak memicu ketidakpastian sentimen bagi investor di pasar modal. "Harus men-detach antara politik dan ekonomi," ucap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen.
Ia percaya kegiatan pemilu pada 2019 nanti tidak terlalu memberi pengaruh negatif terhadap kinerja pasar modal secara umum.
"Jadi memang semestinya kita sudah berpengalaman, setiap lima tahun ada peristiwa politik, atau pesta demokrasi. seperti tahun-tahun sebelumnya sejak reformasi tidak berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi secara signifikan," katanya.
Hal senada juga dikatakan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi. Menurut dia, tidak ada dampak kontestasi politik terhadap indeks saham.
"Masyarakat sudah mengerti indeks, mana hal yang mempengaruhi dan mana yang tidak," katanya.
Ia optimistis ajang politik menjelang Pemilu 2019 bisa berjalan beriringan tanpa berdampak satu dengan yang lain.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan menambahkan secara historis, pada tahun pemilu pasar saham Indonesia cenderung menguat ditopang oleh ekspektasi ekonomi yang dapat berkontribusi positif bagi dunia usaha dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
"Kebijakan populis yang biasa diluncurkan menjelang pemilu juga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi," katanya.
Ia optimistis potensi pertumbuhan pasar saham tahun 2019 diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun 2018.
"Laporan keuangan korporasi terakhir menunjukkan hasil yang cukup baik, sehingga diharapkan momentum dapat berlanjut di tahun 2019," katanya.
Kepala Riset MNC Sekuritas, Edwin Sebayang optimistis pelaksanaan pemilu akan menjadi momentum yang positif untuk berinvestasi di pasar modal, seperti yang terjadi pada periode tahun Pemilu sebelumnya.
"Namun, pemodal tetap harus mempersiapkan beberapa skenario untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi mengingat sentimen eksternal cenderung negatif. Jadi, harus jeli memanfaatkan momentum," katanya.
Menurut dia, sentimen kenaikan suku bunga bank sentral AS dan perang dagang masih belum selesai, akan berlanjut ke tahun berikutnya.
"Dalam kondisi eksternal yang tidak pasti itulah kadang membuat pergerakan IHSG menjadi bervariasi seiring dengan isu dan sentimen pasar yang bergulir," katanya.
Di pasar modal, fluktuasi merupakan bagian yang normal dari perjalanan pasar saham. Jika pilihan investasi mengacu pada fundamental dan prospek, maka fluktuasi justru memberikan peluang.
Diharapkan, sentimen yang muncul selama 2018 ini dapat meningkatkan wawasan untuk menyikapi tantangan bagi ekonomi Indonesia dan juga mencermati dampak bagi pasar modal Indonesia sehingga siap menghadapi tantangan ke depan.
Baca juga: Pasar modal idola baru berinvestasi
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pasar modal siap hadapai sentimen politik 2019"
Post a Comment